Indeks
Berita  

PMII Purwakarta Soroti Penggusuran di Tegal Munjul: Warga Berhak Atas Kehidupan yang Layak

PINTUJABAR.COM || PURWAKARTA – Langkah Pemerintah Kabupaten Purwakarta bersama Perum Jasa Tirta II (PJT II) dalam menertibkan ratusan bangunan di sepanjang saluran sekunder Irigasi Kamojing, Kelurahan Tegal Munjul, Kecamatan Purwakarta, menuai kritik tajam dari Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Purwakarta. Para aktivis mahasiswa menilai proses penggusuran yang dilakukan tidak mencerminkan keadilan sosial dan nilai-nilai kemanusiaan.

Sebanyak 417 bangunan, mulai dari rumah tinggal, tempat usaha, hingga pos organisasi, dibongkar pada Senin (16/6/2025). Pemerintah mengklaim penertiban ini bagian dari proyek normalisasi irigasi dan pembangunan jalan. Namun, warga yang telah puluhan tahun menempati kawasan tersebut merasa kebijakan ini diambil secara sepihak, tanpa kejelasan relokasi maupun kompensasi yang layak.

PMII: Negara Harus Hadir Melindungi Warganya

Wakil Ketua I PC PMII Purwakarta, Muhamad Hasim, menyebut bahwa pemerintah tidak bisa hanya berperan sebagai alat represif pembangunan. Negara, katanya, berkewajiban hadir sebagai pelindung hak-hak dasar warga negara, terutama kelompok rentan.

“Warga Tegal Munjul bukan penumpang gelap. Mereka membayar retribusi, menyekolahkan anak, bahkan sebagian punya sertifikat. Kalau digusur tanpa solusi, ini mencederai kemanusiaan,” kata Hasim.

Hasim juga menyoroti lemahnya pendekatan sosial dan kurangnya komunikasi dua arah dalam proses penertiban. PMII mendesak pemerintah daerah untuk menghentikan sementara proses penggusuran paksa dan membuka kembali ruang dialog bersama masyarakat guna mencari solusi bersama.

Warga Mengaku Terpuruk, Tinggal di Gubuk Darurat

Sejumlah warga terdampak menyampaikan kekecewaan dan tekanan psikologis akibat penggusuran tersebut. Banyak dari mereka kini terpaksa tinggal di gubuk seadanya di tepi sawah karena tak punya pilihan lain.

“Sekarang saya tinggal di gubuk ini, saling dempet-dempetan dengan keluarga lain. Mau ngontrak tidak mampu. Tadi aja ada hajatan seadanya di sini,” ujar Iis, salah satu warga, dengan mata berkaca-kaca.

Iroh, warga lansia lainnya, juga mengungkapkan hal serupa. “Jang, emak itu udah tua. Bukan bikin rumah, makan aja susah. Tolong bantu, jang,” katanya lirih sambil menunjuk gubuk lain tempat tinggal warga yang tergusur.

Bupati Tegaskan Tidak Ada Ganti Rugi

Menanggapi polemik ini, Bupati Purwakarta Saepul Bahri Binzein (Om Zein) menegaskan bahwa bangunan yang berdiri di atas tanah negara tidak dapat diberikan kompensasi.

Ia menyebut penertiban ini merupakan langkah strategis untuk mengembalikan fungsi irigasi dan mengurangi potensi banjir.

“Tidak ada istilah ganti rugi. Negara hanya mengambil kembali haknya. Kami sudah beri surat peringatan dua kali kepada warga agar membongkar sendiri bangunannya,” tegas Om Zein.

PJT II: SPPL Bukan Bukti Kepemilikan

Sementara itu, Sugeng Riyanto, Manajer Operasi dan Pemeliharaan Wilayah II PJT II, menjelaskan bahwa meskipun beberapa warga membayar retribusi tahunan melalui SPPL (Surat Perjanjian Pengamanan Lahan), dokumen tersebut bukan jaminan kepemilikan lahan.

“SPPL hanya memberikan izin pakai sementara. Kami sudah koordinasi dengan BPN untuk pendataan ulang,” ungkap Sugeng.

PMII Dorong Relokasi Manusiawi dan Evaluasi Kebijakan

Melihat kondisi di lapangan, PMII Purwakarta menyatakan akan terus mendampingi masyarakat terdampak dan memperjuangkan hak mereka. Organisasi mahasiswa itu juga mendesak DPRD Purwakarta segera memanggil pihak terkait untuk mencari solusi yang manusiawi.

“Kami tidak menolak penertiban, tapi negara harus hadir memberi solusi, bukan membiarkan rakyat kecil jadi korban sistem,” tutup Hasim. ***

Exit mobile version